A Pendahuluan
Agama jika dipahami dan dihayati secara sungguh-sungguh dalam kehidupan
sehari-hari, pasti bisa mewujudkan kehidupan yang damai,luhur dan sejahtera.
agama jika secara mendalam dan konprehensif akan menumbuh sikap humanis,
toleran dan menghormati orang lain. Oleh karena itu tidak hanya
upaya penyadaran akan
kemajemukan akan perbedaan tetapi juga pemahaman keagamman yang
benar,komprehensif dan humanis[1].
Hal senada juga dilontarkan oleh Paul F.Kanitter anda tidak dapat
mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lain . semua agama pada dasarnya relatif yaitu terbatas,parsial, tidak lengkap sebagai jalan dalam melihat sesuatu, menganggap
bahwa semua agama
dirasakan sebagai sebuah sikap yang
agak salah, opensif dan
merupakan pandangan yang sempit[2].
Untuk mempertemukan agama
dari tataran esensinya, dimana semua agama pada dasarnya dipandang sebagai
relatively absolute ( hanya secara
relatif absolut ) atau jika dibalik
absolutely relative atas klaim kebenaran
yang secara tradisonal memang inheren dalam agama, maka
fungsi agama bisa di harapkan kembali seperti adanya , yakni mengambil peran pembebasan atas kemanusiaan persektif, teratur, ilmiah yang
dikenal sebagai Filsafat Parennial[3].
B. Pengertian Filsafat Parennial
Dari perspektif etimologi filsafat perennial merupakan kata
majemuk yang terdiri dari filsafat dan perennial.filsafat berarati cinta kepada
kepada kebijaksanaan[4].
Sedangkan perennial berasal dari bahasa latin yaitu perennis walaupun kata ini tidak
sepenuhnya identik dengan kata pertama bersifat intelektual sedangkan kata
kedua lebih merupakan aspek perwujudannya[5].
Istilah filsafat perennial populer sekali dikalangan
banyak inelektual baik yang concern
terhadap study agama-agama dan filsafat dan sebaliknya. Sehingga banyak kontri
busi pemikiran para ahli tentang filsafat perennial ini. Seperti ditunjukan
para tokoh dalam mendefenisikannya sebagai berikut :
1 A.K Coomaraswamy
Filsafat perennial yang dimaksud sebagai pengetahuan yang
selalu ada akan selalu ada yang bersifat universal. Ada dalam pengerrtian
antara orang-orang yang berbeda ruang dan waktu malaupun berkaitan dengan prinsip-prinsip universal.
Disamping itu pengetahuan yang diperoleh intelek ini terdapat dalam jantung
semua agama dan tradisi[6].
2 Aldous Huxley
Filsafat perennial adalah: pertama: metafisika yang
diperlihatkan suatu hakekat kenyataan ilahi dengan segala sesuatu: kehidupan
dan pemikiran, kedua: suatu psikologi yang memperlihatkan adanya suatu jiwa (
soul) manusiayang identik dengan kenyataan ilahi, ketiga: etika yang meletakan
tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat immanen maupun transenden
mengenai seluruh keberadaannya[7].
C Sejarah Muncul Filsafat
Perennial
Masalah filsafat
perennial ini bukanlah masalah yang muncul dan berkembang dengan
sendirinya.Tapi respon dari suatu pemikiran pada pemikiran selanjutnya.
Berbagai respon yang dikemukakan oleh para ahli pikir membuat filsafat ini
mampu berjaya pada satu periode walaupun pada ruang lingkup tertentu ( beberapa
tahun belakangan ) ketika pemikiran manusia terhadap suatu keabadian mengejala.
Oleh karena itu melacaknya secara
historis dan menelusuri asal mula
munculnya merupakan suatu upaya memahami filasafat parennial
sebagai suatu topik pembahsan dalam study agama-agama.
Charles B. Sc mith
meresponi tentang parennialisme
pertama, bentuk-bentuk awal dari
filsafat parennial yang sederhana yang mencoba
menggali filsafat ini secara historis
yang diawali dari istilah
parennial. Hasil penelitiannya
mengatakan bahwa filsafat parennial merupakan tranlitarasi dari bahasa latin Philosophia parennis, yang pertama kali di munculkan di dunia
Barat yang di gunakan oleh
Agustino Steuco pada tahun 1497-1458 istilah yang di gunakan Steuco ini mengupas persoalan tradisi filsafat sejati yang abadi.
D.
Filsafat Parennial Frithjof Schuon
1. Kesatuan Teologis
Menurutnya inti agama-agama
terdapat satu kesatuan yang bersifat teologis dalam arti
agama tidak dipandang sebagai
jalan keselamatan bagi pemeluknya
sendiri, melainkan jalan
keselamatan bagi semua pemeluk agama, tapi ia bukan saja teologis , tapi
metafisika dalam arti sebelumnya.
Sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya, yaitu suatu yang dapat
merangkul yang kelihatan itu[8].
Kesatuan teologis yang bersifat metafisis ini , apabila kita bandingkan dengan pendekatan yang berkembang di Barat pada
umumnya, merupakan suatu pendekatan untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan
keimanan dalam suatu komunitas keagamaan serta mengorbankan spirit suatu gairah
untuk mempertahankan dan menyebar luaskan keimanan.
2. Bentuk dan substansi
agama ( Esoteris dan Eksoteris )
Esoteris adalah suatu hal yang boleh saja diketahui dan
dilakukan oleh beberapa orang suatu kelompok penganut paham tertentu.
Eksoteris adalah hal-hal yang boleh
diketahui dan dilakukan bagi semua anggota kelompok penmganut paham tertentu[9].
Untuk memahami kedua permasalahan ini Schuon mengungkapkan
bahwa : menarik garis pemisah antara yang esoteris dan
eksoteris dan segera merasakan bahwa kita berada suasana yang lain. Perbe daan dasar bukanlah
antara agama yang satu dengan agama yang lain. Dapat dikatakan
garis pemisah itu bukannya
membagi perwujudan historis yang besar
dari agama-agama secara vertikal
: agama Hindu dari agama Budha dari
agama Kristen dari agama Islam dan seterusnya. Sebaliknya garis pemisah tadi
bersiafat horizontal dan hanya ditarik
satu kali membelah berbagai agama yang ditemui sepanjang sejarah. Di atas garis
itu terletak paham esoterisme, sedangkan dibawahnya terletak paham eksoterisme[10].
3. Esoterisme : sebagai
titik temu agama-agama.
Untuk dapat memaham
esoterisme sebagai titik temu
agama-agama sama artinya dengan
memahami universalitas metafisika. Dalam
pemahaman itu harus meloncat kepada yang
hakikat bukan yang empiris saja. Pemahaman kepada yang adikodrati (
hakikat ) inilah wilayah terdalam setiap
agama terdapat substansi yang sama dalam agama meskipun
terbungkus dalam bentuk yang
berbeda.
[1] Faisal Ismail,Pengembangan wawasa n Inklusifisme Agama , dalam Jurnal Harmoni, Agama dan Kehor matan, ( Jakarta :
Depag RI Th 2002 ) Volume 1. No.1. h 34
[2] Kamaruddin Hidayat dan
Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan :
Perspektif Filsafat Parennial (
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum Th 2003 ) h.
19
[4] Endang Saefuddin anshari,kulia
al-Islam: Pendidikan agama Islam di
perguruan ( Jakarta : CV Rajawali Th
1992 ) cet ke-2, h 16
[5] Muhammad Sabri, Keberagaman Yang sedang Menyapa :
Perspektif Filsafat Parennial ( Yog yakarta : ITTAQA Press 1999 ) Cet –ke
1, h 8
[7] Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,( Jakarta : Paramidina Th 2001 ) h.06
[8] Huston
Smith, Kata Pengantar,Dalam Frithjof Schuon,Men cari Titik Temu
agama- agama,terjemahan dari The
Trasenden Unity Of religion (
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Th 1987 ) h. XXIV
0 komentar:
Posting Komentar