Senin, 23 September 2013

Filsafat Parennial


A   Pendahuluan
       Agama jika dipahami dan dihayati  secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari, pasti bisa mewujudkan kehidupan yang damai,luhur dan sejahtera. agama jika secara mendalam dan konprehensif akan menumbuh sikap humanis, toleran dan menghormati orang lain. Oleh karena itu  tidak hanya  upaya   penyadaran akan kemajemukan akan perbedaan tetapi juga pemahaman keagamman yang benar,komprehensif dan humanis[1]

 Hal senada juga dilontarkan  oleh Paul F.Kanitter anda tidak dapat mengatakan  bahwa  agama yang satu lebih baik dari  agama yang lain . semua agama pada  dasarnya relatif  yaitu terbatas,parsial, tidak  lengkap sebagai  jalan  dalam  melihat sesuatu,  menganggap   bahwa  semua   agama  dirasakan sebagai sebuah sikap yang  agak salah, opensif dan  merupakan   pandangan yang sempit[2]

Untuk mempertemukan agama  dari tataran  esensinya, dimana  semua agama pada dasarnya dipandang sebagai relatively absolute ( hanya  secara relatif absolut ) atau  jika dibalik absolutely relative atas klaim kebenaran  yang secara tradisonal memang inheren dalam  agama, maka  fungsi   agama  bisa di harapkan kembali  seperti adanya , yakni   mengambil peran pembebasan atas kemanusiaan  persektif, teratur, ilmiah   yang  dikenal sebagai  Filsafat  Parennial[3].

B. Pengertian  Filsafat Parennial
Dari perspektif etimologi filsafat perennial merupakan kata majemuk yang terdiri dari filsafat dan perennial.filsafat berarati cinta kepada kepada kebijaksanaan[4].
Sedangkan perennial berasal dari bahasa latin  yaitu perennis walaupun kata ini tidak sepenuhnya identik dengan kata pertama bersifat intelektual sedangkan kata kedua lebih merupakan aspek perwujudannya[5].
Istilah filsafat perennial populer sekali dikalangan banyak  inelektual baik yang concern terhadap study agama-agama dan filsafat dan sebaliknya. Sehingga banyak kontri busi pemikiran para ahli tentang filsafat perennial ini. Seperti ditunjukan para tokoh dalam mendefenisikannya sebagai berikut :

1 A.K Coomaraswamy
Filsafat perennial yang dimaksud sebagai pengetahuan yang selalu ada akan selalu ada yang bersifat universal. Ada dalam pengerrtian antara orang-orang yang berbeda ruang dan waktu malaupun  berkaitan dengan prinsip-prinsip universal. Disamping itu pengetahuan yang diperoleh intelek ini terdapat dalam jantung semua agama dan tradisi[6].

2 Aldous Huxley
Filsafat perennial adalah: pertama: metafisika yang diperlihatkan suatu hakekat kenyataan ilahi dengan segala sesuatu: kehidupan dan pemikiran, kedua: suatu psikologi yang memperlihatkan adanya suatu jiwa ( soul) manusiayang identik dengan kenyataan ilahi, ketiga: etika yang meletakan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat immanen maupun transenden mengenai seluruh keberadaannya[7].

C Sejarah Muncul Filsafat Perennial
  Masalah filsafat perennial ini bukanlah masalah yang muncul dan berkembang dengan sendirinya.Tapi respon dari suatu pemikiran pada pemikiran selanjutnya. Berbagai respon yang dikemukakan oleh para ahli pikir membuat filsafat ini mampu berjaya pada satu periode walaupun pada ruang lingkup tertentu ( beberapa tahun   belakangan )  ketika pemikiran  manusia terhadap suatu keabadian mengejala. Oleh karena itu melacaknya secara  historis dan menelusuri asal mula  munculnya merupakan suatu upaya memahami filasafat parennial sebagai  suatu topik  pembahsan dalam study agama-agama. Charles  B.  Sc mith  meresponi tentang parennialisme  pertama, bentuk-bentuk awal   dari filsafat   parennial  yang sederhana  yang mencoba  menggali  filsafat ini secara  historis  yang diawali  dari  istilah  parennial. Hasil penelitiannya   mengatakan bahwa filsafat parennial merupakan tranlitarasi  dari bahasa latin Philosophia  parennis, yang pertama  kali di munculkan di  dunia  Barat  yang di gunakan oleh Agustino Steuco pada tahun 1497-1458 istilah yang di gunakan Steuco ini  mengupas persoalan tradisi  filsafat sejati yang abadi.  

 D. Filsafat Parennial  Frithjof Schuon
1. Kesatuan Teologis
Menurutnya inti agama-agama  terdapat  satu  kesatuan yang bersifat teologis dalam  arti  agama  tidak dipandang sebagai jalan keselamatan bagi pemeluknya  sendiri, melainkan  jalan keselamatan bagi semua pemeluk agama, tapi ia bukan saja teologis , tapi metafisika dalam arti sebelumnya.  Sebagaimana  telah dipaparkan sebelumnya, yaitu suatu  yang dapat merangkul yang  kelihatan itu[8]. Kesatuan teologis yang bersifat metafisis ini , apabila kita bandingkan dengan  pendekatan yang berkembang di Barat pada umumnya, merupakan suatu pendekatan untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan keimanan dalam suatu komunitas keagamaan serta mengorbankan spirit suatu gairah untuk mempertahankan dan menyebar luaskan keimanan.  

2.  Bentuk dan  substansi  agama ( Esoteris dan Eksoteris )
Esoteris adalah suatu hal yang boleh saja diketahui dan dilakukan oleh beberapa orang suatu kelompok penganut paham tertentu. Eksoteris  adalah hal-hal yang boleh diketahui dan dilakukan bagi semua anggota kelompok penmganut paham tertentu[9].

Untuk memahami kedua permasalahan ini Schuon mengungkapkan bahwa : menarik garis pemisah  antara yang  esoteris dan  eksoteris dan segera merasakan bahwa kita berada   suasana yang lain. Perbe daan dasar bukanlah antara agama yang satu dengan agama yang lain. Dapat   dikatakan  garis  pemisah itu bukannya membagi perwujudan historis yang besar  dari agama-agama secara  vertikal : agama Hindu dari agama  Budha dari agama Kristen dari agama Islam dan seterusnya. Sebaliknya garis pemisah tadi bersiafat horizontal  dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai agama yang ditemui sepanjang sejarah.  Di atas garis  itu terletak paham esoterisme, sedangkan dibawahnya terletak paham  eksoterisme[10].
3. Esoterisme : sebagai  titik temu  agama-agama.
Untuk dapat memaham  esoterisme sebagai titik temu  agama-agama sama  artinya dengan memahami universalitas  metafisika. Dalam pemahaman itu harus meloncat kepada yang  hakikat bukan yang empiris saja. Pemahaman kepada yang adikodrati ( hakikat ) inilah  wilayah terdalam  setiap  agama  terdapat substansi  yang sama dalam agama  meskipun  terbungkus dalam  bentuk yang berbeda.


[1]  Faisal Ismail,Pengembangan wawasa n Inklusifisme Agama , dalam Jurnal Harmoni,  Agama dan Kehor matan, (  Jakarta :  Depag  RI Th 2002 ) Volume  1. No.1. h 34
[2]  Kamaruddin Hidayat  dan  Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan : Perspektif Filsafat Parennial  ( Jakarta : PT   Gramedia Pustaka Umum  Th 2003 ) h.  19
[3] Kamaruddin HIdayat  dan  Wahyudi Nafis Ibid
[4] Endang Saefuddin  anshari,kulia al-Islam: Pendidikan agama Islam  di perguruan ( Jakarta :  CV Rajawali Th 1992 )  cet ke-2, h 16
[5] Muhammad Sabri, Keberagaman Yang sedang Menyapa : Perspektif  Filsafat  Parennial (  Yog yakarta : ITTAQA Press 1999  ) Cet –ke  1, h 8
[6] Muhammad Sabri Ibid
[7] Budhy Munawar   Rahman,  Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum  Beriman,( Jakarta : Paramidina  Th 2001 ) h.06
[8]  Huston  Smith,   Kata Pengantar,Dalam Frithjof  Schuon,Men cari Titik  Temu  agama- agama,terjemahan dari  The Trasenden  Unity Of religion ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Th 1987 ) h. XXIV
[9] Huston  Smith Ibid
[10] Huston  Smith Ibid

0 komentar:

Posting Komentar